Rabu, 11 Juni 2008

SEJARAH TERBANG LAYANG

I. Sejarah Perkembangan di Indonesia

Terbang layang adalah salah satu cabang olahraga dirgantara yang berupa kegiatan penerbangan glider yang ditarik oleh pesawat penarik.
Olahraga Aeromodelling merupakan olahraga Dirgantara yang tumbuh bersama-sama dengan dunia penerbangan baik sipil maupun militer. Di Indonesia pertama kali timbul di lingkungan TNI – AU melalui Kepanduan Pramuka Dirgantara. Kegiatan pembuatan pesawat model ini dimulai sejak tahun 1946 bersamaan dengan dirintisnya pembuatan pesawat terbang layang pertama di Yogyakarta dan berkembang ke kota – kota lainnya.
Untuk menampung peminat yang makin banyak, maka AURI (TNI AU) memberikan wadah “ BIRO AERO CLUB”. Dan untuk pertama kali diadakan perlombaan pada tanggal 27 Januari 1952 di Pangkalan Udara Cililitan ? Halim Perdanakusuma Jakarta yang diikuti oleh club-club aeromodelling di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Hal itu menumbuhkan animo masyarakat untuk mendirikan club – club di daerahnya masing – masing. Seperti Aviantara di Bandung, Jakarta Aero Club di Jakarta, Pemudara dan Yan Debrito di Yogyakarta, Surakarta Aero Club di Surakarta, dan Malang Aero Club di Malang.
Pada tahun 1962di Hotel Merdeka Solo, dilaksanakan Rapat Rencana Pembentukan Organisasi Aeromodelling, yang dipimpin oleh Letnan Suhartono selaku Kepala Kursus Aeromodelling dan Peroketan.
Dari rapat tersebut disepakati terbentuknya Organisasi Aeromodelling dengan nam Federasi Aeromodelling Seluruh Indonesia disingkat FASI. Kemudian FASI dijadikan organisasi induk untuk semua olahraga dirgantara di Indonesia.
Kegiatan olah raga terbang layang di Indonesia merupakan salah satu cabang olah raga yang kurang memasyarakat, hal ini dikarenakan dari segi pengadaanya sendiri terbang layang memerlukan banyak dana dan kurangnya fasilitas.

4
Faktor tersebut berkaitan dengan harga pesawat layang yang sangat mahal, untuk 1 unitnya saja antara 17.000-25.000 dollar AS. Mahalnya harga pesawat terbang layang membuat cabang olah raga ini kurang berkembang. Di Indonesia , populasi pesawat terbang layang hanya banyak ditemukan di Jawa. Dua puluh satu terdapat di Jakarta dan Jawa Barat, 11 lainnya tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta. Itupun milik klub dan TNI AU, bukan milik perorangan.
Terbang layang memerlukan sebuah pesawat tanpa mesin yang lebih dikenal dengan sebutan glider. Harga pesawat ini bervariasi. Oleh karena keterbatasan anggaran untuk pengadaan pesawat baru, orang-orang terbang layang Indonesia harus terus menerbangkan glider Schweizer yang cukup tua usianya. Kabarnya, tipe glider tak layak digunakan dalam pertandingan kelas internasional. Orang-orang terbang layang memang sulit mengadakan pesawat baru, yang harganya semakin melambung. Glider Scheiwizer harganya sekitar 10-15 juta dollar. Sementara PW-5, yang khusus untuk pertandingan itu, harganya sekitar 25.000 dollar AS atau Rp 250 jutaan.
Dalam hal ini, yang akan dinilai adalah bagaimana posisi pendaratan glider. Lebih detail: di mana berhentinya, bagaimana posisi roda mendarat, posisi hidung waktu berhenti, dan kondisi pesawat setelah mendarat. Pendaratan yang baik adalah apabila roda pendarat depan menyentuh tanah lebih dulu. Pesawat juga harus meluncur tetap di garis tengah lalu berhenti di garis akhir pada lokasi daerah pendaratan yang telah ditentukan.
Glider single seater dan dual seater punya kriteria pendaratan berbeda. Khusus single seater disiapkan landasan 64 x 16 m2 yang telah dibagi empat petak. Tiap petak bernilai 250. Ini artinya, jika ingin meraih nilai 1.000, atlet harus mendaratkan glider dengan benar di petak I lalu berhenti di petak IV. Lain dengan glider dual seater. Lokasi pendaratan lebih luas, 80 x 17 m2 dan dibagi atas lima petak. Tiap petak bernilai 200. Sistem perhitungan nilai sama dengan yang diterapkan pada glider single seater.
Selain dana dan fasilitas, terbang layang juga dihadapkan dengan masalah lain yaitu, masalah Kaderiasai. Sejak dulu sudah ada promosi – promosi tentang olah raga udara, salah satunya adalah terbang layang. Hal itu ditujukan agar olah raga ini dapat menjadi idola para pemuda. Dan diharapkan juga perkembangan terbanag layang tidak hanya di DKI, namun ke daerah-daerah lainnya.


5
Namun hasilnya tidak memuaskan, dikarenakan pemikiran mereka bahwa olah raga ini tergolong olah raga mahal. Sedangkan di Jakarta saja baru terdapat kurang dari 10 generasi. Jadi hal ini menjadi kendala pada olah raga dirgantara ini.
Pendidikan Terbang Layang angkatan XVIII yang berlangsung 24 Juli sampai 24 Agustus 2000 di Lanud Kalijati ditutup oleh KSAU Marsekal TNI Hanafie Asnan selaku Ketua Umum PB Federasi Aero Sport Indonesia (FASI). Dari 82 oarang yang dididik, 27 berasal dari pelajar, mahasiswa dan swasta, belajar sampai selesai. Sisanya terdiri pejabat/perwira tinggi dan menengah TNI AU mengikuti selama tiga hari.
Pendidikan terbang layang kali ini cukup istimewa, sebab diikuti sejumlah pejabat/Pati dan Pamen TNI AU. Diharapkan dampaknya bisa memberi daya tarik sendiri bagi para anggota TNI AU lainnya, dan masyarakat pada umumnya supaya mau bergabung berlatih terbang layang. Alangkah baiknya bila yang berlatih tak hanya perwira dan pejabat TNI AU dari Jakarta dan Jabar tapi juga daerah atau Fasida lain terutama luar Jawa. Supaya perwira TNI AU yang sudah mengikuti Diklat Terla bisa mengajak masyarakat di daerah masing-masing. Kegiatan menggalakkan terbang layang tidak hanya dipelopori anggota TNI AU, tapi juga masyarakat luas.
Wajar dan perlu jika terbang layang sebagai cabang olahraga dirgantara tertua di Indonesia, dikembalikan kejayaannya seperti 1960 - 1970-an atau ditingkatkan dan diperluas kegiatannya sampai ke beberapa daerah. Sebetulnya sejak didirikan Pusdiklat Terla di Kalijati 1987 dan dibukanya Diklat Terla I tahun 1988, sampai sekarang sudah banyak lulusannya. Banyak di antaranya dari pelajar, mahasiswa dan masyarakat namun kebanyakan hanya dari Jawa. Sayangnya setelah kembali ke daerahnya teristimewa yang di luar Jawa amat kurang bahkan ada yang tidak mendapat pembinaan.
Jauh-jauh membuang waktu, biaya, meninggalkan bangku kuliah dan pekerjaan untuk belajar terbang, namun sayang seperti mubazir saja, kalau kurang atau tidak ada pembinaan lebih lanjut di daerahnya. Apa yang didapat di Kalijati hanya jadi pengetahuan dan tinggal kenangan belaka. Sayang memang tapi kenyataan memang begitu. Tujuan Diklat Terla, mencetak kader dan meratakan terbang layang ke pelbagai daerah. Tapi akhir-akhir ini kebanyakan peserta diklat dari Jawa saja, Jabar dan Jakarta. Kebetulan dalam satu dasa warsa belakangan ini paling banyak Diklat Terla dibanding diklat cabang-cabang ordirga lain.


6
Kita menghadapi dilema yang rumit jika berbicara ingin terus melestarikan terbang layang. Di satu pihak harus meningkatkan kualitas dan penyebarluasan terbang layang, salah satu jalan yang ditempuh menyelenggarakan Diklat Terla, walaupun akhir-akhir ini dari dalam Jawa. Pihak lain, hanya di pulau Jawa yang ada kegiatan terbang layang, lantaran yang punya glider dan pesawat penarik hanya Fasida yang ada di Jawa. Setelah 1985-an Fasida luar Jawa tak ada yang melakukan kegiatan terbang layang berhubung tidak hanya peralatannya. Lucu juga, daerah disarankan mengirim orang untuk dididik di diklat tapi di daerahnya tidak ada kesempatan berlatih dengan cara misalnya mendatangkan glider dan pesawat penariknya dari pusat.
Dalam rangka mencetak bibit atlet baru olahraga dirgantara, tugas PB FASI antara lain menyelenggarakan diklat dan menyediakan fasilitas serta peralatan. Setelah lulus pembinaan selanjutnya di tangani Fasida-Fasida. Berarti peranan Fasida besar dalam membina klub-klub yang ada di wilayahnya, antara lain mengadakan kegiatan yang bisa menarik masyarakat agar bergabung dalam ordirga.
Tugas membina tak hanya mengkoordinir dan mengadakan latihan klub-klub yang sudah ada, tapi juga harus melakukan kegiatan yang memberi peluang timbulnya klub-klub baru. Yang tak kalah penting lagi, Fasida perlu bisa merangkul, melibatkan pejabat Pemda setempat, para sponsor dan masyarakat, untuk diajak bersama-sama menggalakkan ordirga, sebagai bagian menyebarluaskan minat dirgantara, memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat. Kini makin tampak peranan ordirga mendukung kegiatan pariwisata. Oleh sebab itu Fasida, Pemda dan masyarakat diharap mau menggalakkan ordirga, agar ordirga dan pariwisata bersama-sama maju dan bergairah.
Kemajuan yang cukup menggembirakan adalah perkembanagn microlight atau pesawat terbang ringan. Microlight sebenarnya terdiri dari tiga jenis yaitu, three-axis flight control bersayap tetap, flexed wing yang di dalamnya terdapat trike, dan yang terakhir adalah powered paragliding ( paralayang bermotor). Hal yang paling mudah adalah jenis trike, karena selain sangat mudah, sederhana, dan relatif murah. Benda ini dapat dilipat dan disimpan di garasi, serta dapat terbang dari lapangan sepak bola. Sementara microlight dan fixed wing atau ultralight sulit berkembang karena harganya yang sangat mahal dan lebih sulit cara penerbangannya dibanding trike.

Tidak ada komentar: