Senin, 09 Juni 2008

Museum Olimpiade, Sejarah Peradaban Olahraga

SEBENARNYA bangunan itu terlalu kecil untuk disebut sebuah museum. Ukurannya hanya sekitar 6 kali 10 meter dan terletak di pojok kompleks atlet Olimpiade Athena 2004.

Dari sebuah laci, Gallmann menunjukkan sepotong tulang hewan yang keropos dan tampak sangat tua. "Apa ini, coba tebak?" Pertanyaan yang sama ia lontarkan kepada beberapa pengunjung lainnya.

Dikarenakan tidak kunjung mendapat jawaban, Gallmann menjawab sendiri. "Ini adalah bagian alas sepatu es. Jadi, sebelum logam banyak dipakai, tulang hewan yang diasah cembung merupakan pisau di bagian bawah sepatu atlet untuk meluncur di atas es."

Kemudian Gallmann menunjukkan keterangan untuk potongan tulang itu. Ternyata tulang itu umurnya sudah ratusan tahun. Penelusuran sejarah oleh Museum Olimpiade mendapati fakta bahwa manusia telah meluncur di atas es dengan bantuan tulang hewan sejak abad kedua sebelum Masehi. Bahkan, tulang masih dipakai sampai abad ke-14.

"Setelah pengolahan logam ditemukan, tulang dilupakan manusia sebagai alat luncur es," kata Gallmann.

KARENA hanya cabang dari Museum Olimpiade pusat, museum Olimpiade di Athena hanya membawa gambar dari ratusan koleksi yang ada di Swiss. Dari ratusan gambar koleksi itu, yang menonjol adalah banyaknya sepatu atlet.

"Semua sepatu ini adalah sumbangan para atlet sendiri. Sepatu yang ini adalah sumbangan atlet putri Rusia, Irina Privalova, yang di Olimpiade Sydney tahun 2000 meraih emas di nomor 400 meter," kata Gallmann sambil memamerkan sebuah sepatu yang tampak sangat tipis dengan paku-paku yang sangat canggih.

Dalam pengamatan Kompas, walau sekadar sepatu, koleksi Museum Olimpiade membuka mata kita pada catatan sejarah olahraga dengan banyak data. Terlihat jelas bahwa di masa lalu sepatu umumnya terbuat dari kulit hewan. Sepatu-sepatu lama terlihat tebal dan berat.

Maka, dengan membandingkan sepatu sumbangan atlet Rusia tadi terlihat jelas bahwa teknologi membuat manusia mampu menciptakan bahan yang makin ringan dan makin kuat dari masa ke masa. Dengan logika itu, mungkin kita berpikir bahwa catatan rekor di masa kini jelas amat terbantu teknologi. Upaya manusia mengatasi tantangan olahraga di masa kini tinggal semata mengatasi tantangan dalam diri sendiri. Zaman dulu, dengan sepatu kulit yang keras dan berat, seorang atlet jelas punya tantangan tambahan alat lain yang dikenakannya.

Demikian pula yang terjadi pada balap sepeda. Sepeda di Olimpiade masa lalu tidak jauh berbeda dengan sepeda yang kita lihat di desa-desa Indonesia saat ini. Sepeda olahraga di masa lalu terbuat dari besi, berat dan tidak langsing. Bandingkan dengan sepeda olahraga masa kini yang bahkan bisa diangkat dengan satu jari.

MUSEUM Olimpiade di Athena tidak cuma mengangkat isu olahraga internasional. Untuk negara tuan rumah Yunani, Museum Olimpiade ini pun punya bahan pameran yang menarik.

Di seluruh dinding museum Olimpiade Athena terpajang 25 buah foto karya fotografer Yunani, Marina Shacola. Wanita kelahiran tahun 1963 ini adalah atlet atletik Yunani yang kemudian memilih profesi sebagai fotografer. Dan, karena mantan atlet, Shacola mengkhususkan diri untuk memotret olahraga.

Pendekatan Shacola pada foto-fotonya sangat indah dan unik. Karena ia kenal sebagian besar atlet yang dipotretnya, foto-fotonya seakan berjiwa. Berbagai pose atlet yang dipotretnya serasa mewakili upaya sang atlet akan prestasi terbaik.

Karya-karya Shacola sudah dibukukan dalam sebuah buku berjudul Athlos dalam bahasa Yunani, yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah Upaya.

"Saya terobsesi pada olahraga sepanjang waktu. Dalam olahraga kita melihat rantai kehidupan manusia secara utuh. Ada upaya, ada semangat, ada keberhasilan, dan ada pula kekecewaan atas kegagalan," demikian kata Shacola yang dipajang di dinding museum.

Kesan kita setelah keluar dari museum itu adalah: ternyata segala sesuatu kalau disusun dengan cerdas dan tekun akan memberikan pengetahuan yang berguna bagi orang lain.

(Arbain Rambey, dari Athena)

Tidak ada komentar: